Tuesday, August 25, 2015
10:52 AM

Balada Rif'ah, Seorang Akhwat Partai - 10

Sambil melirik ke arah sekelilingnya, Rif'ah tampak masuk ke sebuah lift yang berada di sebuah hotel bintang 3. Ia sendirian, menggendong sebuah tas, dan tampak canggung dengan keramaian di sekitarnya. Ia belum pernah memesan kamar hotel sebelumnya, apa lagi masuk ke sebuah kamar yang tidak ia pesan. Namun hanya itulah bunyi pesan yang ia terima tadi pagi, kalau ia harus datang ke hotel tersebut, dan masuk ke kamar yang telah disebutkan. Tampak beberapa pandangan curiga tertuju ke arahnya. Mungkin dalam hati mereka berpikir, ngapain wanita berjilbab panjang main-main ke hotel seperti ini, sendirian pula.

Jantung Rif'ah makin berdebar ketika lift yang ia gunakan beranjak naik menuju lantai 5, tempat kamar yang disebutkan tadi pagi di SMS. Ia hanya sendirian di lift yang dikelilingi cermin tersebut. Sambil menunggu lift itu berhenti, Rif'ah beberapa kali memantaskan diri di depan cermin lift. Begitu keluar lift ia langsung mencari-cari kamar yang dimaksud. Lorong yang tidak begitu terang membuat pandangannya jadi sedikit terganggu. Rif'ah pun akhirnya menemukan kamar tersebut di ujung lorong paling utara. Tanpa ragu, ia pun menekan bel, sembari kembari melihat sekeliling takut ada yang melihat.

Tak berapa lama, pintu kamar pun terbuka dan seorang laki-laki langsung berada di hadapan Rif'ah. Rif'ah sangat terkejut karena yang keluar bukanlah laki-laki yang ia harapkan, melainkan seorang bule kulit putih yang tinggi besar. Apalagi bule tersebut membuka pintu hanya dengan sebuah handuk yang melilit di pinggangnya. Rif'ah pun bisa melihat dengan jelas otot-otot besar yang berada di lengan dan dadanya. Perutnya six pack layaknya binaragawan yang sering ia lihat di iklan susu khusus pria di televisi. Tanpa sadar, darah muda Rif'ah pun berdesir.


"Sorry, can i help you?" Sapa bule tersebut.

"Umm, yeah. I am looking for Room 501."

"Owh, i think you make a mistake. This is Room 510, and Room 501 is over there." jawab si bule sambil menunjuk ke ujung lorong yang berbeda. Wajah Rif'ah memerah, ia tampak begitu malu di hadapan bule tersebut.

"Thank you. I'm sorry for disturbing you."

"It's alright, beautiful girl." ujar si bule sambil tertawa. Ia pun menggaruk-garuk kepalanya yang berambut lebat, sehingga Rif'ah bisa melihat dengan jelas bulu ketiaknya yang lebat.

Rif'ah pun langsung berbalik dan menuju ke kamar yang ditunjuk si bule tadi. Namun sembari berjalan ia masih terus memikirkan tubuh gagah si bule, sangat jauh dengan tubuh Abu Nida, apalagi Yanto. Gairahnya yang terus bergejolak setelah diperawani oleh Abu Nida, membuatnya terus menginginkan sensasi yang lebih. Ia pun menoleh kembali ke belakang ke arah kamar si bule.

Alangkah malunya Rif'ah karena si bule ternyata masih berada di depan kamarnya, dan memperhatikan Rif'ah yang berjalan ke arah Kamar 501. Bule tersebut kembali tersenyum. Rif'ah pun membalas senyumannya dengan rasa malu. Ia langsung berbalik dan berjalan secepat mungkin menuju Kamar 501. Sesampainya di pintu kamar, Rif'ah berusaha memastikan lagi kalau ia berada di depan kamar yang tepat. Dan setelah yakin, Rif'ah kembali menekan bel.

Kali ini benar, Abu Nida yang keluar membukakan pintu. "Ayo masuk, Rif'ah. Jangan malu-malu." Rif'ah pun mengikuti suami Abu Nida tersebut ke dalam kamar. Di dalamnya, ia menemukan sebuah ranjang besar yang telah tersusun rapi. Sepertinya Abu Nida telah mempersiapkan semuanya dengan sempurna.

Rif'ah baru saja meletakkan tasnya di lantai ketika Abu Nida langsung menyergapnya dari belakang. Ayah 2 anak itu menciumi tengkuk Rif'ah yang masih berbalut jilbab panjang. Rif'ah mengerang begitu diserang seperti itu. "Ahh, Abuu ... Udah gak tahan yah."

"Siapa yang bisa tahan kalau disuguhkan akhwat secantik dan seseksi kamu, sayang." Ujar Abu Nida sambil menjamah payudara Rif'ah yang sekal. Dengan lembut ia meremas-remas bongkahan payudara tersebut dan berusaha membangkitkan gairah Rif'ah.

Rif'ah tahu apa yang harus dilakukan kemudian. Ia berbalik menghadap Abu Nida dan mulai menciumi bibir Abu Nida yang hangat. Ia lakukan dengan penuh birahi, dan nafas yang mulai tak beraturan. Abu Nida membalasnya dengan meremas bokong Rif'ah. Keduanya telah cukup lama memendam gairah, apalagi sejak kehadiran Yanto di tengah dunia perselingkuhan mereka. Namun kini, mereka berada di sebuah kamar yang tidak diketahui siapapun, dan mereka bebas melakukan apa saja hingga malam nanti. Mereka pun memutuskan untuk memanfaatkannya sebaik mungkin. Itulah mengapa Abu Nida menyuruh Rif'ah untuk datang ke kamar tersebut. Rif'ah yang sudah begitu gatal pun menyanggupinya dan berniat untuk memuaskan Abu Nida sebaik mungkin.

"Aku rindu kamu, Abu ..."

"Aku juga, Rif'ah. Aku begitu rindu kehangatan tubuhmu ..."

Perkataan tersebut disambut Rif'ah dengan sebuah ciuman hangat. Ia kembali mengulum bibir Abu Nida dengan liar, dan mulai meraba-raba dada Abu Nida. Perlahan, ia mulai melepaskan kancing demi kancing kemeja yang dipakai Abu Nida hingga semuanya terlepas dan kemudian menariknya hingga tanggal dari tubuh Abu Nida. Tak puas, Rif'ah pun menaikkan kaos dalam Abu Nida agar ia bisa meraba-raba dada Abu Nida yang telah lama ia rindukan. Abu Nida membantunya dengan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, dan membiarkan akhwat cantik yang kini telah menjadi pasangan selingkuhnya tersebut menciumi dadanya.

"Ahhh, ukhti ... Nikmat sekali bibirmu," desah Abu Nida yang langsung membalas dengan meremas lebih kencang bokong Rif'ah. Kondisi Rif'ah yang masih memakai jubah panjang dan jilbab lebar membuat Abu Nida semakin bergairah. Memang, istri Abu Nida, Ummu Nida, juga selalu mengenakan pakaian seperti itu setiap hari. Namun ia tidak memiliki tubuh seputih dan wajah secantik Rif'ah. Di Kantor DPD, Rif'ah merupakan seorang akhwat yang dianggap paling cantik, dan sering menjadi pembicaraan para ikhwan. Karena itulah Abu Nida sangat bangga ketika akhirnya ia berhasil mengambil keperawanan gadis cantik tersebut, dan bahkan terus menyetubuhinya berkali-kali kapan pun ia mau.

Sambil terus mencium bibir Rif'ah yang ranum, Abu Nida membimbing akhwat berjilbab tersebut ke pinggir ranjang. Dengan sedikit dorongan, ia mendudukkan Rif'ah di tepian ranjang hotel tersebut. Sambil tersenyum, Abu Nida menurunkan tubuhnya hingga ia berjongkok di hadapan Rif'ah. Wajahnya tepat berada di depan selangkangan Rif'ah. Rif'ah pun membiarkan saja ketika Abu Nida mulai menarik bagian bawah jubahnya ke atas. Mahasiswi tingkat akhir tersebut tidak mengenakan apa-apa lagi di baliknya, sehingga Abu Nida langsung berhadapan dengan betisnya yang putih dan indah.

"Indah sekali betismu, Rif'ah."

"Nikmati saja Abu, semuanya milikmu." Jawab Rif'ah sambil meletakkan tangannya sedikit ke belakang. Tangan tersebut akan menopang tubuhnya yang sebentar lagi akan dirangsang habis-habisan oleh Abu Nida.

"Betisnya saja begini, bagaimana pahanya." Abu Nida kembali menaikkan ujung jubah panjang Rif'ah makin ke atas, hingga menyingkap keindahan paha Rif'ah yang begitu mulus dan lembut. Abu Nida pun mengelus-elusnya dengan penuh birahi. Ia pun mendekatkan wajahnya dan mulai menjilat sepasang kaki milik akhwat jelita tersebut.

"Ahhhh .... " Rif'ah memperkuat cengkeramannya ke atas ranjang agar ia tidak terjatuh. Setiap elusan Abu Nida membuat syaraf-syaraf gairah di tubuhnya menjadi aktif, dan menimbulkan keringat yang mulai mengucur di tubuhnya.

Abu Nida terus menjulurkan lidahnya dan menjilati seluruh kaki Rif'ah dari bawah ke atas. Ia angkat ujung jubah Rif'ah sebatas pinggang, hingga celana dalam Rif'ah yang berwarna pink kini jelas terlihat. "Indah sekali kemaluanmu, ukhti ..." Tanpa sungkan Abu Nida pun menjilati selangkangan Rif'ah yang masih tertutup celana dalam, membuat akhwat cantik itu kelojotan menahan birahi.

"Nggghhh .... Abuuuuuuuuu" lenguh Rif'ah ketika lidah Abu Nida mulai menusuk-nusuk vaginanya. Celana dalam berwarna pink tersebut pun menjadi basah, entah karena air liur Abu Nida atau cairan cinta Rif'ah yang mulai merembes keluar.

Merasa tak nyaman, Abu Nida pun coba menarik celana dalam tersebut agar terlepas. "Angkat sedikit pinggulmu, Manis." Dengan pasrah, Rif'ah pun mengangkat bokongnya yang seksi agar Abu Nida bisa melepaskan celana dalamnya. Sambil melingkarkan tangan ke pinggul Rif'ah, Abu Nida pun menarik celana dalam yang sudah basah tersebut hingga terlepas.

Abu Nida kini langsung berhadapan dengan vagina Rif'ah yang bersih, harum, tak berbulu, dan tampak masih begitu cantik. Tanpa menunggu lama lagi, Abu Nida langsung menenggelamkan wajahnya di selangkangan Rif'ah. Gadis cantik berjilbab panjang itu pun membuka selangkangannya dan membiarkan suami Ummu Nida tersebut menjelajahi harta tersucinya dengan lidah. "Memekmu manis sekali, sayang. Sluurrrpphhhh ... Nikmatnyaaa"

"Ahhh, Abu, teruskan Abu, hisap semuanya sampai kamu puas, ahhhh .... ngggghhh" Rif'ah kini memindahkan tangannya ke kepala Abu Nida dan meremas-remas rambut hitamnya.

Abu Nida pun semakin bersemangat dan mencari-cari sebuah benda kecil dengan lidahnya. Ia pun menemukannya tergantung di bagian atas vagina Rif'ah, terasa begitu kenyal dan hangat. Dengan penuh birahi, ia pun mengulum klitoris Rif'ah dan memaksa akhwat tersebut menjepit kepalanya dengan kencang, menyongsong luapan birahi yang sebentar lagi akan melanda. "Sluurrrrrppppphhhhh .... Hhhhhmmmmm"

"Nikmat, Abu. Ahhh .... Teruskan, jangan berhenti, Uuugghhhh."

Tak lama kemudian, Abu Nida merasakan mulutnya penuh dengan cairan cinta, tanda kalau Rif'ah baru saja mendapatkan kepuasan birahi pertamanya. Abu Nida pun menyeruputnya hingga tak ada yang tersisa. Rasanya gurih, dan baunya membuat Abu Nida menjadi semakin terangsang dengan tubuh seksi di hadapannya. Ia usap-usap paha Rif'ah yang terbuka, begitu putih dan halus, membuat penisnya terus memberontak kuat.

"Bagaimana sayang, nikmat?" Ujar Abu Nida sambil mendongak, memandang wajah Rif'ah yang begitu lemas. Akhwat tersebut sedang menikmati orgasme yang baru saja ia rasakan. Terasa begitu indah seperti yang beberapa minggu ini ia rasakan.

"Ahhh .... Indah, Abu ..." ujar Rif'ah sambil tetap memejamkan matanya. Bulu matanya yang lentik tampak begitu indah terlihat dari bawah.

"Itu baru pertama, Sayang. Hari ini kamu akan menikmati puncak birahi sebanyak yang kau inginkan." ujar Abu Nida sambil berdiri kembali di hadapan Rif'ah.

"Benar yah, Abu. Hari ini aku ingin antum menjadi milikku" ujar Rif'ah yang juga berdiri dan langsung mencium bibir Abu Nida dengan binal. Ia julurkan lidahnya dan ia selipkan di antara kedua bibir Abu Nida. Abu Nida pun tak mau kalah dan langsung mengadu lidahnya dengan lidah akhwat cantik tersebut.

Tangan Abu Nida tak mau tinggal diam, dan langsung kembali meraba-raba tubuh seksi Rif'ah, terutama pantatnya yang montok. Apalagi Rif'ah sudah tidak mengenakan celana dalam, membuat Abu Nida bisa dengan leluasa merasakan belahan pantat gadis tersebut. Abu Nida pun tak mau kalah dengan meraba-raba puting dada Abu Nida, dan mengelus-elus dada yang sedikit berbulu tersebut. Ia melakukannya sambil terus mengulum bibir Abu Nida seperti sedang kelaparan.

Abu Nida melepas ciumannya, dan mulai mengangkat kembali jubah Rif'ah hingga bagian bawah tubuh akhwat tersebut terbuka kembali. Rif'ah mengerti apa yang diinginkan Abu Nida, dan mulai melepaskan jubahnya sendiri. Beberapa saat kemudian, hanya tersisa sebuah kain jilbab panjang dan bra berwarna hita yang menutupi tubuh indah Rif'ah.

Dengan malu-malu, Rif'ah menutup kamaluannya dengan kedua tangannya. Namun ia tak merasa keberatan, malah tersenyum ketika Abu Nida berusaha merebahkannya di atas ranjang. Abu Nida pun ikut merebahkan dirinya di sebelah Rif'ah. Tangannya terjulur berusaha mengikuti bentuk tubuh Rif'ah dari paha, pinggul, pinggang, dan berakhir di payudara Rif'ah.

"Besar sekali toketmu, Rif'ah. Lebih besar dari milik istriku," ujar Abu Nida dengan wajah yang sudah begitu terangsang. Abu Nida pun menyingkap jilbab lebar Rif'ah, dan meraba-raba payudara Rif'ah yang masih tertutup bra.

"Hari ini, kedua payudaraku milikmu seutuhnya ... Jantan," ujar Rif'ah sambil menggigit bibir bawahnya. Akhwat cantik yang biasa mengenakan pakaian muslim nan lebar tersebut kini benar-benar tampak seperti wanita binal yang sedang horny berat.

Abu Nida pun mulai mencari-cari kaitan bra di punggung Rif'ah, dan Rif'ah membantunya dengan mengangkat sedikit dadanya. Membuat payudaranya yang berukuran 36B semakin menjulang ke atas, membuat Abu Nida semakin sesak selangkangannya. Setelah berhasil melepaskan kaitan bra Rif'ah, Abu Nida pun membantu akhwat tersebut menanggalkannya, dan melemparkannya ke lantai kamar hotel. Sepasang payudara suci, milik akhwat cantik idaman banyak orang, kini terpampang di hadapan Abu Nida.

Ayah 2 anak tersebut pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dan langsung meremasnya dengan lembut. Ia mulai dengan payudara sebalah kiri, dan mengarahkan mulutnya ke payudara sebelah kanan. Abu Nida langsung mengulum payudara sebelah kanan Rif'ah, dan meremas yang sebelah kiri. Beberapa menit kemudian, ia lakukan sebaliknya. Rif'ah hanya pasrah menerima perlakuan tak senonoh tersebut dan malah mengeluarkan erangan nafsu yang malah membangkitkan gairah Abu Nida.

"Indah sekali toketmu, Ukhti. Tak akan puas aku walau sudah sering menikmatinya," ujar Abu Nida di sela-sela kulumannya pada puting payudara Rif'ah. Ia selingi kuluman tersebut dengan sebuah jilatan yang begitu dalam di belahan payudara Rif'ah, membuat akhwat tersebut semakin kelojotan dan merasa begitu geli.

"Geli, Abuuu .... Aaaahhhh ..." Rif'ah melingkarkan kakinya ke pinggang Abu Nida dan berusaha bertahan dari rangsangan bertubi-tubi yang dilancarkan Abu Nida.

Tangan Abu Nida yang sebelah kanan mencoba turun dan meraba-raba selangkangan Rif'ah. Ia melakukannya sambil tetap mengulum payudara Rif'ah yang montok dan besar. Sesekali ia tusukkan jarinya ke dalam vagina Rif'ah, membuat tubuh akhwat alim tersebut menegang.

"Coba menungging, Ukhti. Aku ingin memberimu sesuatu." ujar Abu Nida. Rif'ah pun menurut, ia mengambil posisi menungging dan membiarkan payudaranya yang besar tergantung indah, membuat Abu Nida menelan ludahnya sendiri melihat seorang perempuan alim berjilbab lebar, kini sedang berposisi sensual di hadapannya.

Abu Nida melepaskan celana dan celana dalamnya sendiri, hingga ia bugil tanpa busana. Ia pun menempatkan dirinya di belakang Rif'ah, layaknya seekora anjing pejantan yang siap mengawini betinanya. Abu Nida memulai dengan memeluk Rif'ah dari belakang. Kain jilbab yang sedikit menghalanginya pun tak jadi masalah, ia masih bisa mengelus-elus payudara Rif'ah yang seksi sambil memeluknya dari belakang. Perlahan ia juga menempatkan penisnya di pintu kemaluan Rif'ah, membuat vagina indah tersebut berdenyut-denyut, meminta dipuaskan.

"Ayo cepetan, Abu ... Rif'ah udah gak tahan, neh," tak disangka oleh Abu Nida kalau Rif'ah bisa mengeluarkan kata-kata binal seperti itu.

"Sabar sebentar, ukhti. Ayo lebarkan lagi selangkanganmu. Nah, iya begitu ... Aaaahhhhhh," Abu Nida mendesah ketika merasakan penisnya sudah masuk sedikit ke liang senggama Rif'ah. Ia pun meneruskan penetrasinya hingga penis berukuran sedang itu bisa masuk sedalam mungkin ke vagina Rif'ah.

"Ahhhhhhhh ......" Rif'ah merintih ketika merasakan kontol Abu Nida telah menghujam ke dalam kemaluannya. Akhwat cantik tersebut hanya bisa membuka mulutnya, membentuk huruf o, dan mengeluarkan desahan dan erangan penuh birahi, seiring dengan tekanan kontol Abu Nida.

"Dasar akhwat memek gatel ... Senengnya dientot sama suami orang," ujar Abu Nida mencoba memancing gairah Rif'ah agar keluar lebih banyak lagi.

"Biarin ... kamu juga suami kotor, sukanya menumpahkan sperma di memek pelacur berjilbab," kedua insan tersebut seperti sudah tidak malu lagi mengeluarkan kata-kata kotor untuk saling mengangkat birahi pasangannya. Terbukti Abu Nida jadi semakin bersemangat, dan lebih dalam lagi memasukkan kontolnya.

Mereka terus bersetubuh dengan posisi tersebut selama beberapa menit. Abu Nida tak henti mendorong-dorong kontolnya sambil menindih Rif'ah dari belakang. Payudara Rif'ah pun tak lepas dari remasan dan cubitan jahil Abu Nida yang berusaha mengangkat gairah akhwat alim tersebut setinggi mungkin.

"Nghhh, ahhhh ... ugghhh, ahhhhh" begitulah suara yang keluar dari mulut Abu Nida seiring dengan hentakannya pada memek Rif'ah. Akhwat yang masih mengenakan jilbab panjang tersebut pun mengikuti irama goyangan pinggul Abu Nida dengan jepitan di memeknya yang begitu kuat, seolah berusaha meremukkan batang kemaluan Abu Nida.

"Terus, Abu .... Ahhhhh ... Aku suka sekali dientot kamu Abu," Abu Nida semakin semangat lagi, goyangannya semakin kencang. Ia pun mempercepat sodokannya di kemaluar Rif'ah, hingga ia merasakan tubuh Rif'ah kembali menegang, bersiap mengeluarkan ledakan syahwat.

"Ukhtttiiiiiii ......"

"Abuuuuuuuu ......."

Tubuh Rif'ah kembali menegang, kali ini ke arah depan. Sedetik kemudian Rif'ah pun melemas, dan Abu Nida merasakan penisnya kembali dibasahi oleh cairan cinta Rif'ah. Kemaluannya sendiri masih tegak bertahan, belum menemukan puncak kenikmatan.

"Enak yah, ukhti?" ujar Abu Nida sambil melepas kontolnya dari memek Rif'ah.

"Nikmat banget, Abu. Abu belum orgasme yah?" jawab Rif'ah sambil melirik ke arah kemaluan Abu Nida yang masih tegak berdiri.

Abu Nida hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya.

"Sini Rif'ah bantu kalau begitu." Kali ini Rif'ah yang membimbing Abu Nida untuk duduk di atas ranjang, dengan punggung menempel di sandaran tempat tidur. Ia pun naik ke atas tubuh Abu Nida dan menempatkan memeknya di atas kontol Abu Nida. Sambil menggigit bibir bawahnya, ia semakin turun hingga batang kemaluan Abu Nida yang masih tegang ambles ke dalam memeknya secara keseluruhan.

"Hmmmm .... Yaaammmmm, enak sayang, ngggghhhhhh" Abu Nida mendesah begitu merasakan kontolnya kembali masuk ke dalam liang birahi Rif'ah yang begitu suci, yang baru dicicipi oleh dirinya dan Yanto. Entah dari mana Rif'ah mempelajari semua itu, namun yang pasti gaya tersebut memberikan kenikmatan yang tiada tara bagi Abu Nida.

"Sini sambil nenen, Abu," ujar Rif'ah sambil mengangkat ujung jilbab panjangnya, menampilkan toketnya yang masih begitu kencang dan menggiurkan. Abu Nida tidak menunggu lama, dan langsung mencaplok ke bagian kiri dan bagian kanan. Ia lakukan itu sambil memeluk tubuh bugil Rif'ah agar tidak terjatuh ke belakang. Di selangkangannya, kontolnya tengah dipuaskan oleh goyangan pinggul memutar Rif'ah yang terlihat sangat binal.

Abu Nida terus mengulum puting toket Rif'ah, sambil menggenjot kemaluan Rif'ah dari bawah. Tangannya pun terus menjelajah seluruh bagian tubuh Rif'ah yang bisa ia capai, demi memberikan rangsangan demi rangsangan kepada akhwat tersebut.

"Ukhti ... Memekmu ... Toketmu, bener-bener seksiiiii .... Oooohhh"

"Kontol kamu juga Abu, enak banget naik turun di atasnya, Nggghhhhh."

Rif'ah terus memutar pinggulnya, menjepit dengan kencang kontol Abu Nida, sambil naik turun membuat kontol tersebut keluar masuk liang senggamanya. Proses tersebut membuat kontol Abu Nida menjadi cepat menanjak birahinya hingga hampir sampai ke puncak. Merasa kontol yang sedang ia jepit bertambah besar, Rif'ah pun mempercepat gerakan tubuhnya, membuat Abu Nida menjadi belingsatan.

"Ukhti ... Dikit lagi."

"Iya Abu .... nikmati terus tubuh ana yang indah ini. Semua hanya untukmu,"

Abu Nida ikut mengikuti irama Rif'ah dan turut menaik turunkan pinggulnya agar tepat masuk ke dalam vagina Rif'ah. Tak berapa lama kemudian ... "Croooottt ... cooott ... croootttt" Abu Nida mencapai puncak orgasme.

Muncratan sperma tersebut diterima Rif'ah dengan pasrah. Walau Abu Nida tidak menggunakan kondom saat menyetubuhinya, Rif'ah sudah bersiap dengan meminum pil KB sebelumnya, agar ia tidak hamil. Karena itu ia baik-baik saja ketika Abu Nida mengeluarkan spermanya di dalam kemaluan Rif'ah. Rif'ah langsung memeluk erat tubuh Abu Nida, dan bersandar di dadanya tanpa membereskan sisa pertarungan mereka terlebih dahulu.

"Aku sayang kamu, Abu."

"Aku juga sayang kamu, ukhti."

Keduanya pun saling berpelukan di atas ranjang yang menjadi saksi pertarungan birahi tersebut.

--------------------

Ummu Nida turun dari taksi yang ditumpanginya tepat di depan rumah kos berpagar putih tersebut. Rumah kos tersebut bertingkat dan tampak begitu tertutup. Maklum, rumah kos tersebut hanya diperuntukkan bagi para mahasiswi, dan kebanyakan merupakan para gadis berjilbab lebar yang alim dan selalu menjaga pergaulan.

Berbeda dengan Rif'ah yang mendapat banyak perhatian saat masuk ke dalam hotel tempat perselingkuhannya dengan Abu Nida, Ummu Nida malah sama sekali tidak diperhatikan ketika ia masuk ke kosan tersebut. Hal tersebut terasa wajar, karena memang banyak sekali ibu-ibu berjilbab yang keluar masuk kosan tersebut, kebanyakan sedang memberi pengajian kepada penghuni kos, sebagian lagi juga merupakan mahasiswi senior yang sedang minta bantuan temannya untuk menyelesaikan skripsi.

"Assalamualaykum," Ummu Nida mengucapkan salam di depan kamar bernomor 13, walau ia sendiri tidak ikhlas dengan salam tersebut.

'Waalaykumsalam warahmatullah." terdengar balasan salam dari dalam kamar. Dan beberapa saat kemudian pintu kamar nomor 13 tersebut pun terbuka. Dari balik pintu tersebut, muncul lah Faizah yang tampak masih mengenakan pakaian muslimah lengkap; rok panjang, kemeja lengan panjang, dan sebuah jilbab lebar. Faizah tersenyum melihat Ummu Nida yang tampak begitu cantik dengan balutan jilbab berwarna krem. "Mari masuk Ummu."

Ummu Nida pun menurut, dan masuk ke dalam kamar kos Faizah. Di belakangnya, Faizah pun menutup pintu kamar dan menguncinya. Ummu Nida langsung menoleh, "Koq dikunci?"

"Biar gak ada yang ganggu," ujar Faizah sambil tersenyum penuh arti. "Ummu mau minum apa?"

"Tidak usah, saya tidak haus." ujar Ummu Nida ketus.

Faizah makin mendekat ke arah Ummu Nida, hingga sampai tepat di hadapannya. Akhwat tersebut merangkulkan tangannya di pinggang ummahat tersebut. "Ummu sudah tidak sabar yah?" ujar Faizah sambil menggigit bibirnya sendiri.

"Apa-apaan kamu, Faizah." Ummu Nida berusaha memberontak. Namun seperti pertarungan di kantor DPD kemarin, ia tidak sanggup melawan tenaga Faizah.

"Jangan munafik, Ummu. Ummu ke sini, artinya Ummu menginginkannya, bukan?"

"Aku ke sini karena paksaanmu, dasar akhwat jalang."

"Ughhh ... kata-katamu sungguh menyakitkan, Ummu. Tapi tidak apa, itu malah membuatku makin bergairah, dan bersemangat untuk membuatmu orgasme di hadapanku, Ummu." Faizah kembali tersenyum. Kali ini ia sambil meremas-remas bokong Ummu Nida yang cukup besar dan montok.

Ummu Nida masih berusaha berontak, namun kali ini dengan intensitas yang lebih ringan. "Hentikan, Faizah. Istighfar kamu."

"Seharusnya Ummu yang sekarang harus beristighfar, karena nanti Ummu pasti akan berteriak-teriak alhamdulillah," ujar Faizah kembali melecehkan Ummu Nida. Kini ia tarik tangan Ummu Nida agar berbalik memeluknya, sedangkan wajahnya diarahkan ke wajah Ummu Nida. Faizah sedang berusaha mencium bibir ummahat tersebut.

Awalnya tangan Ummu Nida hanya diam saja ketika Faizah menempatkannya di pantatnya sendiri. Namun ketika Faizah berhasil melumat bibir Ummu Nida, ummahat beranak dua tersebut menyerah dan sedikit memberikan remasan di pantat Faizah, membuat akhwat berbadan kekar tersebut makin birahi. "Najis kau, Faizah."

"Akhwat najis ini sebentar lagi akan memberimu kepuasan, Ummu."

Faizah kembali melumat bibir Ummu Nida, dan mengelus-elus punggungnya yang masih berbalut jubah panjang dan jilbab. Tapi kemudian Faizah mendorong Ummu Nida hingga terjatuh ke atas ranjang. Ummu Nida hanya pasrah saja diperlakukan seperti itu. Semua ini ia lakukan demi menjaga martabat Rif'ah. Sayangnya ia tidak tahu kalau di waktu yang sama, Rif'ah tengah menggumuli suaminya sendiri, Abu Nida.

"Pernah melihat akhwat bugil di hadapanmu, Ummu? Sensasinya beda lho." ujar Faizah sambil meraih resleting roknya di bagian belakang. Ia menurunkannya dengan perlahan, hingga kakinya yang sedikit gelap kini terlihat jelas. Walau gelap, bentuk kaki Faizah tetaplah bagus, karena seperti akhwat yang lain, ia juga selalu merawatnya. Yang membedakan selain warna kulit hanyalah ototnya yang cukup kuat, mengingat Faizah rajin sekali olahraga dan latihan beladiri.

Faizah melanjutkan dengan melepaskan kemeja lengan panjangnya. Ia lepas kancingnya satu persatu, dengan perlahan dan sensual, berusaha membangkitkan gairah Ummu Nida yang masih terus menatapnya dengan pandangan yang tajam. Ketika semuanya telah terlepas, Faizah pun melemparkan kemeja tersebut ke lantai. Kini ia hanya tinggal memakai bra, celana dalam, dan jilbab panjang.

"Ayo lepas pakaianmu, Ummu."

"Tidak mau," jawab Ummu Nida tegas.

"Ingin lepas sendiri atau aku yang lepaskan? Kalau aku yang lepaskan, pasti akan sedikit ... kasar." ujar Faizah.

Ummu Nida bingung, ia berada dalam dilema. Bila ia membiarkan Faizah melepaskan pakaiannya, bagaimana kalau nanti pakaiannya robek, dan ia tentu tidak bisa pulang dalam keadaan begitu. Namun ia juga begitu malu untuk melepaskan pakaiannya sendiri di hadapan Faizah.

"Pilih yang mana, Ummu?"

Ummu Nida pun mengangguk, dan mulai melepaskan jubahnya sendiri. Ia berdiri di tepian ranjang dan menanggalkan jubahnya. Terlihatlah sudah tubuh Ummu Nida yang masih bersih dan indah di usianya yang hampir 40. Payudaranya masih begitu montok dan besar. Pahanya putih mulus, terlihat sekali bagaimana telaten-nya Ummu Nida merawat dirinya. Setelah jubahn panjangnya terlepas dan jatuh ke lantai, Ummu Nida pun melepas bra dan celana dalamnya yang berwarna hitam. Payudara dan kemaluan yang sebelumnya tersembunyi pun kini bisa terlihat jelas.

Faizah terpana. Ketika Ummu Nida akan menanggalkan jilbabnya, Faizah melarang. Ia mendekati Ummu Nida dan menggenggam tangannya, "Tidak usah Ummu. Dipakai saja jilbabnya."

Faizah kembali mengecup bibir Ummu Nida. Kini ia lakukan dengan lebih lembut, berusaha membuat Ummu Nida dalam keadaan tenang. Namun Ummu Nida masih tetap diam tak membalas. Faizah pun sedikit terganggu dengan hal itu, karena itu ia mulai mengarahkan tangannya ke payudara Ummu Nida. Faizah mulai meremas-remas payudara yang sudah terbuka bebas itu, mulai dari yang sebelah kiri, kemudian yang sebelah kanan, secara bergantian.

"Aku harus diam, jangan sampai aku menikmati ini. Biarkan Faizah puas, namun aku tetap tidak boleh terpancing dengan rangsangannya." Begitu bunyi suara hati Ummu Nida. Namun perlahan tapi pasti, Ummu Nida mulai terbawa dengan irama rangsangan Faizah. Faizah seperti sudah mahir sekali memainkan payudara wanita. Selain meremasnya, Faizah juga memainkan puting payudara Ummu Nida dengan jemarinya. Sesekali bahkan ia seperti menjepit-jepit puting Ummu Nida yang berwarna kecoklatan dengan dua jarinya, kemudian memutarnya hingga terpilin. Seluruh rangsangan itu membuat syaraf-syaraf Ummu Nida bergetar hebat.

Faizah terus bersabar menghadapi Ummu Nida yang memang sejak awal hanya ingin menjadi patung tak berbirahi di hadapan Faizah. Namun Faizah tahu kalau Ummu Nida tak akan mampu menahan birahi di hadapannya. Ia terus memberikan rangsangan pada Ummu Nida, sambil mencium-cium bibir ummahat yang tubuhnya masih terasa kencang itu. Sesekali, Faizah membisikkan kata-kata kotor di telinga Ummu Nida. "Ahh ... Toketmu benar-benar indah, Ummu."

Lama-lama, Ummu Nida pun jadi tak tahan. Ia pun ikut mendesah ketika Faizah meremas payudaranya dengan kuat, "Ahhhhhhh ...... Hentikan Faizah," desahnya dengan mata terpejam. Faizah pun tersenyum. Perlahan ia menarik tubuh Ummu Nida ke bawah agar ia kembali duduk di sisi ranjang, dan Faizah pun kembali mencium bibirnya. Faizah menarik kembali tubuh Ummu Nida hingga rebah di atas ranjang. Ummu Nida hanya pasrah saja diperlakukan sedemikian rupa. Kini kedua akhwat berjilbab tersebut telah asyik saling menindih di atas ranjang.

Ummu Nida menggapai seprei tempat tidur yang bisa ia raih, dan berusaha menggenggamnya dengan erat, sementara Faizah kini sedikit turun dan mengarahkan bibirnya ke payudara Ummu Nida. Lidah Faizah mulai bermain di payudara Ummu Nida, mengoleskan liur dari bawah hingga ke puncaknya di bagian puting. Faizah melakukan itu seolah-olah payudara Ummu Nida adalah permen yang begitu manis ketika dijilat. Ketika telah sampai di puncak, Faizah tak lupa menyapu ujung puting payudara Ummu Nida hingga membuat pemiliknya menggelinjang.

"Enak yah, Ummu?" tanya Faizah sambil tersenyum.

Ummu Nida hanya memejamkan mata, sambil terus memperkuat genggamannya pada seprei, berusaha menahan gejolak yang timbul dari rasa geli di payudaranya. Diperlakukan sedemikian rupa oleh sang suami mungkin sudah biasa baginya, namun kehadiran Faizah yang seorang akhwat sepertinya, membuat sebuah sensasi tersendiri hingga membuat rasa geli tersebut kian terasa. Ummu Nida pun terus menggeleng-gelengkan kepala, sambil menggigit bibir bawahnya.

Faizah terus menurunkan jilatannya hingga ke bawah, ke arah selangkangan Ummu Nida. Selangkangan tersebut berbulu, namun tidak terlalu lebat. Ada rasa gatal yang menyentuh lidah Faizah ketika menjilatnya, namun ada sedikit cairan yang membasahi kemaluan tersebut, tanda kalau Ummu Nida sudah mulai terpacu birahinya.

"Katanya gak suka, tapi koq sampe basah gini?" Ujar Faizah terkekek.

Ummu Nida masih berusaha bertahan, hingga akhirnya Faizah menusuk-nusukkan lidahnya ke liang vagina Ummu Nida. Ummu Nida pun tak tahan lagi. Beberapa saat Faizah melakukan hal tersebut, pinggul Ummu Nida malah naik turun, berusaha menjemput lidah yang hangat tersebut. Faizah pun menikmatinya, dan terus membalasnya dengan memberikan jilatan dan kuluman yang hangat. ia pun menambahnya dengan memasukkan jemarinya ke dalam vagina Ummu Nida, membuat kemaluan suci tersebut penuh. Faizah merasakan vagina tersebut berkedut-kedut berusaha meremas jemarinya yang berada di dalam.

"Sudah horny banget yah Ummu?" tanya Faizah sambil kembali menindih Ummu Nida dan mencium bibirnya. Di bawah, kedua vagina mereka saling bertemu dan beradu. Kini Ummu Nida tak lagi menahan diri, ia membebaskan dirinya untuk menggesekkan kemaluannya dengan kemaluan Faizah. Keduanya kini terlibat percumbuan terlarang, bahkan ketika mereka masih mengenakan jilbab lebar.

Faizah berusaha membalikkan posisi mereka. Kini ia berada di bawah, sedangkan Ummu Nida berada di atas. Ummu Nida hanya diam, tak tahu harus berbuat apa-apa. Dalam hati ia bingung akan apa yang sedang terjadi, namun kemaluannya masih terus berkedut-kedut meminta dipuaskan. Faizah mengerti hal itu, dan menarik tangan Ummu Nida agar menyentuh payudaranya. Tangan Ummu Nida pun langsung berada di atas payudara Faizah. Dengan insting, ia meremasnya lembut.

"Ahhh, teruskan Ummu Nida, nahh... gitu enaaaakkkk," desis Faizah berusaha menikmati rangsangan yang kini ganti diberikan oleh Ummu Nida kepada dirinya. Makin lama remasan Ummu Nida semakin kencang, membuat puting payudara Faizah berdiri tegak. Payudara Ummu Nida yang bergelayutan di atasnya membuat Faizah semakin horny.

"Nikmat, Ummu ... Ahhh, engkau bidadariku Ummu Nida, aku suka tubuhmu." desah Faizah memenuhi kamar kos tersebut. Mayoritas penghuni kamar kos tersebut tengah pergi keluar, sehingga Faizah tidak takut akan ada yang mendengar erangan binalnya.

Ummu Nida bagai kerbau yang dicocok hidungnya, terus saja meremas payudara Faizah, hingga akhirnya Faizah menarik kepalanya dan mencium bibir Ummu Nida. Keduanya saling berpagutan, karena kini Ummu Nida tak hanya diam, ia juga membalas kuluman bibir Faizah. Keduanya saling berpelukan dan merangsang tubuh pasangannya.

"Ahhh, ngggghhh .... Ahhhhhh" desahan erotis mulai keluar dari bibir indah Ummu Nida. Kini keduanya sudah lupa pada status masing-masing sebagai akhwat. Ummu Nida bahkan lupa tujuannya ke kamar kos tersebut, yang ingin membuat Faizah bertobat. Kini malah ia yang terbawa dengan arus birahi Faizah dan malah ikut memuaskan nafsu akhwat lesbian tersebut.

Keduanya terus mencium dan menggesek vagina masing-masing hingga keduanya sama-sama merasa gatal di kemaluannya. Faizah memeluk Ummu Nida dengan begitu erat, hingga toket mereka saling bersentuhan satu sama lain. Ia telah begitu tak tahan, hingga ingin melepaskan semua gairahnya di tubuh Ummu Nida.

"Ummuuu ..... toketmu lembut, memekmu buatku hornyyy .... Aaaaaahhhhhh" Kata-kata kotor tersebut menandai lepasnya gairah Faizah, yang diikuti rembesan cairan cintanya di kemaluan Ummu Nida.

"Nggghhhh ...." lepasan gairah Faizah membuat Ummu Nida juga tak mampu lagi menahan diri. Dalam diam ia pun melepaskan apa yang sedari tadi ia tahan.

Faizah masih memeluk Ummu Nida dengan penuh kelembutan. Akhwat tersebut sangat mengerti apa yang dibutuhkan wanita setiap melepaskan puncak birahinya, belaian mesra entah dari lelaki atau perempuan. Dan menurutnya, itulah yang paling penting dalam seks. Karena itu, tak sedikit akhwat yang menikmati hubungan dengan sesama akhwat, walaupun mereka tidak bisa bersetubuh layaknya suami dan istri.

Ummu Nida hanya tetap diam, menahan diri merasakan seluruh tubuhnya yang tanpa busana bersentuhan dengan tubuh Faizah. Ia merasakan kehangatan, yang berbeda dengan yang ia rasakan ketika bersama suaminya. Bagaimana dengan rasa yang ia alami ketika bersama Yanto? Kalau itu sudah berada pada level yang lebih tinggi lagi.

Ummu Nida memejamkan mata. Ia mengingat kembali tentang kehidupan dirinya sebelum ini. Terasa begitu membosankan dengan keseharian yang hanya bersama suaminya seorang. Kini ada Yanto dan Faizah yang juga telah merasakan tubuhnya. Dan ia pun merasakan tubuh mereka. Apakah ia ingin mengulanginya di kemudian hari?

--------------------