Makan malam baru saja usai dan empat wanita cantik itu duduk di ruang tengah, mereka mengobrol santai sementara suami mereka berbincang serius di ruang depan. Para suami, yang semuanya adalah tokoh masyarakat serta orang-orang yang aktif di kegiatan masjid, sedang membicarakan bulan Ramadhan yang sebentar lagi datang. Seperti biasa, mereka harus memutuskan kegiatan apa saja yang akan dilakukan serta siapa yang bertanggung jawab.
Bagaimana, Ustad, apakah semuanya sudah siap? tanya Haji Karim, orang
yang memimpin rapat itu.
Lelaki yang dipanggil menoleh. Usianya masih cukup muda, tak lebih dari tiga
puluh tahun. Wajahnya teduh, namun sorot matanya menyiratkan kepintaran.
Sepertinya lebih baik kita memakai jadwal tahun kemarin, dia menjawab.
Orang di sebelahnya lekas menukas.
Bukankah Haji Mahfud sudah meninggal,
Pak Ustad. Siapa yang nanti menggantikan? tanyanya. Dia bernama Slamet, si
takmir masjid.
Saya tadi sudah tanya sama Jarot, jawab Ustad Rofid. dia mau jadi imam
tarawih menggantikan Haji Mahfud.
Haji Karim manggut-manggut, Ya, dia lulusan pondok. Tajwidnya bagus,
Kalau dia setuju, maka maka yang lain tidak berani membantah.
Jadi nanti kita giliran tiap tiga hari, Ustad Rofid memastikan.
Burhan yang sejak tadi diam, segera mengetik di laptop. Jadwal imam ia susun
sedemikian rupa hingga Haji Karim, Ustad Rofid, serta Jarot mendapat giliran
secara adil. Sudah jadi tradisi di desa itu kalau imam sholat tarawih selalu
berganti-ganti.
Untuk bilalnya gimana? tanya Haji Karim.
Itu malah lebih gampang, Pak Haji. jawab Slamet. Banyak yang siap, semua
pada bisa.
Tapi tetap kudu dibagi, siapa tahu ada yang berhalangan, tegur Ustad Rofid.
Eh, i-iya, Pak Ustad. Slamet tersenyum malu-malu.
Burhan segera memasukkan nama-nama bilal di samping kolom imam, orang-
orangnya ia dapatkan dari rekomendasi Haji Karim.
Wak Jupri sebaiknya jangan dipakai lagi, Pak Haji, usul Ustad Rofid.
Orangnya sudah sepuh, sering lupa dan kebolak-balik.
Haji Karim mengangguk setuju, Iya, sekalian regenerasi juga.
Burhan lekas menghapus nama Wak Jupri dan menggantinya dengan si Nasikhul,
pemuda anak Pak RT yang bulan lalu baru menikah.
Jangan cuma ngobrol aja, ayo diminum tehnya, kata Haji Karim
mempersilakan sebagai tuan rumah yang baik. Semua orang segera menyesap gelas
masing-masing.
Mereka sudah akan melanjutkan pembicaraan saat Juleha, istri muda Haji Karim yang baru berusia 24 tahun, muncul di ruang tamu dan berbicara lirih namun cukup keras untuk didengar semua orang,
"Kamar sudah siap, Bah!"
Haji Karim menoleh kepada tamu-tamunya. Siapa yang mau duluan?
Burhan mendongak dari laptopnya, Saya nanti saja, masih banyak yang harus diketik.
Haji Karim menoleh kepada Ustad Rofid, Pak Ustad? tawarnya.
Ustad muda itu menggeleng sambil tersenyum. Sepertinya ada yang lebih tak sabar daripada saya, Pak Haji. Matanya melirik kepada Slamet yang duduk sambil senyum-senyum.
Kamu, Met? tanya Haji Karim pada pemuda kurus di depannya. Yang ditanya hanya berdehem malu-malu.
Kalau Pak Haji nggak keberatan, jawab Slamet sambil melirik keberadaan Juleha.
Seperti biasa, gadis itu mengenakan pakaian panjang dan jilbab lebar untuk digunakan menutupi tubuhnya yang mulus sempurna. Sungguh sangat santun dan sama sekali tidak provokatif. Tapi siapapun di ruangan itu tahu, Juleha tidak mengenakan beha atau celana dalam di baliknya. Tubuhnya polos begitu saja, yang tentu sangat disukai oleh Slamet.
Kamu nyosor melulu, Met, komentar Haji Karim. Kalau saja istrimu tidak
cantik, pasti kamu tidak aku undang di rapat ini.
Slamet hanya memberikan seringaian pendek sebagai jawaban. Gimana, Pak
Haji. Boleh saya duluan? tanyanya tak sabar.
Haji Karim mengangkat bahu. Memang aku bisa menolak?
Slamet tersenyum dan lekas mengucapkan terima kasih. Bergegas ia bangkit untuk mengikuti Juleha ke kamar tidur. Di dalam, tiga perempuan lain sudah duduk di ranjang menunggu. Salah satunya adalah Nuning, istrinya. Dua yang lain adalah Atik, istri Ustad Rofid, serta Hasnah, istri si Burhan. Mereka semua masih berpakaian lengkap mengenakan baju panjang dan jilbab lebar. Keempatnya sama-sama cantik dan menarik dalam gaya masing-masing, terutama Atik. Kepada dialah pandangan Slamet paling lama terarah.
Ayo, Bang. Dengan mesra Nuning menggandeng tangan sang suami,
sementara Juleha menutup pintu kamar tanpa menguncinya.
Duduk di kursi sambil tersenyum, Slamet memandangi keempat perempuan yang ada di depannya berganti-gantian. Nuning yang datang duluan perlahan membantunya melepas kemeja. Berikutnya Hasnah, yang langsung memberinya ciuman penuh di bibir. Slamet terkejut, bahkan terlalu terkejut untuk mencium kembali. Dia hanya sempat melumat sedikit sebelum Hasnah menarik diri.
Lalu Juleha, yang perlahan-lahan membuka kancing celana dan melepas resletingnya. Perempuan cantik berbibir merah itu meletakkan tangan di atas gundukan kemaluan Slamet dan memijatnya perlahan-lahan selama kurang lebih satu menit. Meski masih terhalang celana dalam, namun sudah cukup membikin Slamet mendesah lega.
Setelah Juleha kembali ke kursinya, kini giliran Atik, perempuan yang paling didambakan oleh Slamet. Atik mendekat dan menatap matanya, tetapi tidak menciumnya. Sebaliknya, ia memelorotkan celana dalam Slamet dan membelai batang kontolnya secara langsung. Elusannya terasa benar-benar nikmat, lembut sekaligus juga hangat, erat namun juga sangat nyaman. Perbuatannya itu membawa Slamet ke titik dimana ia harus mengerang kuat.
Enak ya, Bang? tanya Nuning yang menonton dari samping. Slamet hanya
bisa menjawab dengan anggukan.
Tak lama, Atik kembali ke tempat duduknya. Juleha kembali berdiri dan menghampiri, dia berjalan mengeliling Slamet dua kali, membelai kemaluan lelaki itu setiap kali ia bisa, lalu menutupnya dengan memeganginya erat selama setengah menit. Pada saat ia selesai, napas Slamet sudah semakin terengah-engah. Kontolnya terlihat semakin kaku dan menonjol ke depan meski tidak besar-besar amat.
Perbuatan Juleha diikuti oleh Hasnah. Dia datang dan memberi Slamet ciuman panjang yang berapi-api sambil tangannya dengan lembut membelai batang penis laki-laki itu. Slamet membalasnya penuh nafsu, rakus ia lumat bibir tipis istri Burhan itu sambil tangannya mencoba meraba bulatan payudara Hasnah yang terasa mengganjal di depan perut, namun tangannya lekas ditepiskan.
Eh, belum waktunya, Hasnah tersenyum mengingatkan. Slamet hanya bisa
menatapnya dengan wajah memerah penuh nafsu.
(Nantikan part-2)
Wednesday, July 8, 2015