Namaku, Agus Purnama dan sering dipanggil Apur oleh teman-temanku. Umurku kini 29 tahun dan hingga saat ini aku belum menikah. Hal itu terjadi bukan karena aku tidak laku tetapi aku merasa terpukul dengan kejadian yang menimpaku.
Aku bekerja di sebuah pabrik garment sebagai mekanik mesin produksi dan di pabrik ini banyak sekali karyawan perempuannya. Dari mulai usia 18 tahun sampai 40 ada semua disana. Aku banyak dikenal oleh mereka karena pekerjaanku kadang sering menghadapi mereka pada saat mesin mengalami gangguan.
Diantara sekian ratus karyawan, aku akrab dengan 2 orang kakak beradik, yang satu bernama Nining berusia 21 tahun dan kakaknya bernama Naning yang berusia 25 tahun.
Tempat kostku sangat dekat dengan kamar kost kedua bersaudara itu, hanya terhalang jalan sehingga bila kebetulan kami sedang off, aku sering bertandang ke kamar kost mereka, ngobrol, makan bersama.
Awalnya, kedekatanku dengan mereka hanya sebatas teman saja sehingga diantara mereka tidak ada perasaan apapun, murni menerimaku sebagai sahabat mereka. Tetapi lama kelamaan, sebagaimana pepatah Jawa, witing tresno jalaran soko kulino, lambat laut perasaan lain muncul dalam hatiku. Kucoba menyimak berulang-ulang rasa hati ini ternyata aku mulai punya rasa cinta kepada Nining.
Sejak rasa itu muncul, sikapku jadi tidak semerdeka dulu, aku kadang merasa jengah bila bertemu dengan mereka, khususnya saat bertemu dengan Nining.
Beberapa hari aku sempat menghindar untuk bertemu dengan mereka tetapi rasa rindu malah membuatku jadi lebih tersiksa sehingga akupun mendatangi tempat kosan mereka dan melakukan kegiatan seperti biasanya.
Kulihat Nining juga seperti kagok menghadapiku, banyak menghindar atau bila bertatap muka denganku, dia lebih sering menunduk atau menghindar dengan melakukan pekerjaan yang tidak perlu. Kalau Naning, seperti biasa saja, ceria, cerewet dan melayani obrolanku dengan santai, rupanya memang Naning tidak ada apa-apa, tetap menganggapku teman, seperti dahulu.
Situasi seperti itu berjalan lumayan lama sehingga akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya pada Naning. Kebetulan saat itu Nining sedang kerja sedangkan Naning serta aku kegiliran shift malam.
Mula-mula Naning tidak terbuka dengan pertanyaanku mengenai sikap adiknya tetapi setelah kubujuk dan kuyakinkan bahwa aku tidak akan apa-apa, barulah Naning bercerita bahwa Nining tengah merasakan jatuh cinta kepadaku tetapi dia malu untuk mengungkapkannya karena hubungan pertemanan diantara kami sudah sangat dekat.
Ternyata .... rasaku tidak bertepuk sebelah tangan, Nining juga punya rasa yang sama denganku ....
Setelah aku tahu, maka aku putuskan untuk berterus terang saja dan rencanaku malam minggu nanti aku akan tembak dia.
Malam Minggu yang kutunggu akhirnya datang juga dan atas seijin Naning, malam itu Nining kuajak jalan ke daerah utara yang berhawa sejuk. Awalnya Nining tidak mau tetapi setelah kubujuk dan juga didorong oleh Naning, akhirnya dia mau juga jalan denganku.
Malam itu, di Pakar Dago, apa yang menyesak dalam hati kami terungkap sudah ..... malam itu Nining resmi jadi pacarku. Tidak ada kata Aku Cinta Padamu, cuma bibirku bisa mengecup dan mengulum bibirnya dan dia sambut kuluman bibirku sama hangatnya.
Pulang dalam perjalanan Dago Pakar ke Leuwigajah terasa cepat sekali tiba. Nining memeluk tubuhku sehingga kurasakan daging menonjol di dadanya menekan ke punggungku. Tiba di rumah hari sudah agak larut dan Naning sedang pulang ke Majalaya.
Berdua di ruang yang sepi, membuat kami terhanyut. Awalnya kami cuma berpelukan, berciuman, saling raba dan tanpa kami sadari pakaian kami sudah mulai bertebaran. Nining hanya tinggal menggunakan celana dalam, begitu juga aku .... buah dadanya yang berukuran sedang mengundang aku untuk mencucupinya dan Nining menyambut cucupanku dengan desah, rintih yang mengartikan dia tidak menolak kenakalanku bahkan ketika perlahan kuturunkan celana dalamnya, pantatnya agak dinaikan sehingga telanjanglah dia. Aku yang sudah terbakar birahi tidak berlama-lama mendiamkan situasi ini. Ku lepas celana dalamku lalu kembali ku gumuli Nining. Kami berguling-guling di atas kasur yang spreinya sudah morat-marit. Deru nafas kami sudah saling susul menyusul ... tanganku dengan leluasa menggerayangi selangkangan Nining yang berambut tipis tetapi hangat dan telapak tangan Niningpun memainkan batangku yan sudah mengeras.
Akhirnya, kupayungi tubuh telanjangnya dan dia pandu batangku ke lubang di selangkangannya yang sudah penuh dengan lendirnya dan cairan liurku.
Niningpun dengan sukarela merenggangkan pahanya sehingga dengan mudah batangku yang telah sekeras kayu mulai memasuki gerbang senggamanya .... perlahan ku dorong, Nining merintih sambil menatapku. Ku lumat bibirnya dengan lembut, ku remas dadanya sambil ku tekan batangku .... dan akhirnya batangkupun masuk menembus lubang senggamanya. Ada rintihan dan cakaran kurasa di punggung saat keperawanannya berhasil ku tembus .... kulihat ada air mata menggenang di pelupuk matanya lalu mengalir ke pipi kiri kanannya namun Nining tetap tersenyum padaku sehingga setelah beberapa saat aku diamkan batangku dijepit lubang senggamanya ... aku mulai berayun. Perlahan ku tarik lalu ku dorong lagi, berawal lembut, kuresapi licinnya lubang senggama Nining dan Niningpun menyambut setiap hujamanku dengan mengangkat pinggulnya sehingga terasa benar kepala batangku menyentuh-nyentuh dasar lubang kenikmatannya.
Ritme ayunanku dan goyangan pinggul Nining semakin cepat, rintihan yang keluar dari mulut Nining bersahut-sahutan dengan dengus nafasku yang kian memburu .... dan akhirnya, titik kulminasi senggama kami tergapai. Saat cairan hangatku berhamburan menyirami kedalaman lubang senggamanya, ku peluk tubuh mulus bersimbah peluh yang berada dalam tindihan tubuhku yang berpeluh. Niningpun mencakar punggungku sambil menggigit pundakku, rupanya kami sampai ke puncak bersama. Beberapa detik tubuh kami kaku saat melepas kenikmatan senggama, lalu akhirnya tubuhku terguling ke sampingnya. Sempat kulihat batangku basah dengan cairan dan ada noda merah keperawanan Nining.
Kami bertatapan lalu ku kecup mata indahnya sambil kubisikkan kata aku mencintainya. Nining tersenyum lembut, air matanya muncul lagi lalu dia peluk tubuhku, dia sandarkan kepalanya di dadaku.
Ku belai punggung telanjangnya yang masih berkeringat, rambutnya yang agak basah dan karena kelelahan, akhirnya kami tertidur tanpa sempat menarik selimut.
Tengah malam aku terjaga, Nining masih memelukku .... perlahan ku beringsut untuk melihat dengan jelas tubuh telanjannya.
Pinggang yang meliuk indah, buah dada yang kencang serta pahanya yang padat mulus membuatku kembali bergairah. Perlahan ku telentangkan tubuhnya, Nining masih terlelap ... ku kulum bibirnya, ku raba lembut tonjolan di dadanya, turun ke perut dan tiba di selangkangannya. Kumainkan daging kecil yang terselip diantara belahan selangkangannya sehingga akhirnya Nining terbangun .... dia tersenyum lalu matanya terpejam sambil merintih saat lidahku membelai belahan lubang senggamanya. Nining menggelinjang dan tangannya menggerumas rambutku ..... puas memainkan lubangnya, aku bergeser mendaki tubuhnya dengan tetap memainkan lidahku di kulit perutnya yang kencang dan halus dan tiba di puncak dadanya. Kulumat lembut tonjolan kecil yang mulai mencuat mengeras lalu akhirnya tangan Nining menuntun batangku menempel ke lubang senggamanya. Setelah pas, perlahan kudorong batangku memasuki liang senggamanya. Nining merintih saat batangku mulai membenam dan ku masukan semua. Setelah semuanya masuk, kudiamkan sejenak, ku tatap wajah Nining yang matanya terpejam menikmati kekenyalan batangku lalu perlahan aku mulai berayun dan Nining menyambut ayunanku dengan goyangan pinggulnya.
Semakin panas persenggamaan kami, kamar terasa panas padahal di luar udara lumayan dingin .... dan akhirnya puncak birahi kami tergapai lagi. Tubuhku mengejang saat melepas cairan kenikmatan dan Niningpun mencakar punggungku karena diapun mencapai puncaknya bersamaan denganku.
Hubunganku dengan Nining berjalan dengan lancar, setiap kami bertemu selalu diakhiri dengan bersetubuh. Kami bebas melakukannya karena saat itu dilakukan, Naning tengah sibuk bekerja dan baru pulang jam 7 pagi.
Pernah suatu ketika Nining aku bawa ke rumahku dan kuperkenalkan dengan Ibu dan Ayahku. Keluargaku sangat baik menerima Nining bahkan Ibuku sampai mengajaknya masak bersama untuk makan siang.
Usai pertemuan pertama dengan Nining, Ibuku jadi agak murung dan sempat kutanyakan 2 minggu kemudian kenapa, apakah Nining tidak berkenan untuk Ibu ?
Ibuku hanya menatapku lalu berkata : " Kamu mencintai Nining, Gus ?"
" Iya Bu, kalau memang Ibu Bapak setuju, Agus mau jadikan dia sebagai isteri Agus "
" Apa tidak ada lagi yang lain Gus ? Kan di tempatmu bekerja masih sangat banyak perempuan-perempuan cantik "
" Rasanya Agus sudah cocok Bu bersama Nining "
" Gus, kamu tidak melanggar kehormatan Nining kan ? "
Deg ... rasanya nyaris copot jantung ini dengan pertanyaan itu ... tetapi aku tidak berani untuk mengakuinya, yang keluar dari mulutku adalah " Ndak Bu, Agus tidak melakukan itu ..... "
" Syukurlah .... Ibu percaya kamu anak baik. Ibu sebenarnya tidak setuju kalau kamu dekat atau sampai berniat menikahinya.", kata-kata Ibu mengagetkan aku.
" Kenapa Bu ? Nining tidak sopan sama Ibu ? ", tanyaku.
" Tidak. Dia anak baik, sangat baik malah tetapi ibu tidak menghendaki kamu menjadikannya sebagai isteri. Cukuplah kalian berteman .... " jawab ibuku.
Aku tidak mengerti kenapa ibuku tidak menghendaki Nining jadi isteriku tetapi aku pikir mungkin perlu waktu sehingga aku tetap saja melakukan hubungan suami isteri bersama Nining.
Setelah 3 bulan kami menjalin kebersamaan, tiba-tiba Nining menghilang ..... ya, dia tidak ada di kontrakannya. Aku penasaran, ku coba menghubungi hp-nya ternyata tidak aktif, berkali kali ku coba tetap begitu. Aku bingung sekaligus takut terjadi apa-apa dengannya dan juga ada kekhawatiran kalau Nining hamil. Ya ampun, aku belum siap untuk itu ...... tetapi terdorong oleh rasa cintaku, aku mencoba mendatangi Naning, kakaknya. Kutanyakan mengenai keberadaan Nining, ternyata jawaban Naning tidak memuaskan rasa penasaranku. Naning selalu menjawab bahwa Nining berhenti bekerja dan berniat tetirah di kampung serta meminta aku untuk tidak menghubunginya.
Mau jalan ke Majalaya sendiri, aku tidak tahu di daerah mana dia tinggal sehingga setelah berulang-ulang aku berusaha membujuk Naning, tetap saja tanpa hasil.
Kerinduanku pada Nining perlahan mulai memudar seiring dengan ketiadaan kabar berita walau hanya sekata. Aku tetap berkunjung ke kosan Naning, kami masih seperti dulu, ngobrol, "ngaliwet" dan "botram" bersama bahkan perlahan-lahan mulai tumbuh rasa suka dalam hatiku kepada Naning.
Kami sudah beberapa kali jalan bersama, ke Maribaya, Cileunca, Tangkubanparahu dan dalam saat itu Naning juga berlaku seperti seorang kekasih.
Tak segan dia menyelipkan tangannya diantara lengan dan rusukku, atas menyandarkan kepalanya di bahuku saat kami duduk dan memeluk tubuhku dengan kencang sehingga dadanya menekan punggungku saat aku memboncengnya.
Kemesraan-kemesraan "tidak direncanakan" itu berlangsung semenjak Nining mulai berlalu dari hatiku dan akhirnya kamipun terjebak dalam kemesraan tak direncanakan itu.
Ketika itu kami baru pulang dari Ciater dan saat melewati wilayah perkebunan teh, hujan tiba-tiba turun dan kami tidak membawa jas hujan sehingga segera ku belokkan motor ke warung-warung yang berjajar di sepanjang jalan itu. Tiba di warung, ternyata tutup dan untuk mencari warung buka kami harus menembus hujan yang lebat, ogah juga kalau harus basah-basahan.
Udara dingin menyergap kami berdua. Awalnya Naning hanya duduk mepet kepadaku lalu kurahup tubuhnya dalam pelukanku. Suasana yang sepi, tambah kabut tebal membuat kami lupa. Mula-mula kami hanya bertatapan lalu perlahan bibirku mengecup pipinya Naning, Naning hanya diam bahkan memejamkan matanya dan bibirnya agak terbuka. Perlahan aku tempelkan bibirku ke bibirnya, Naning menyambut ciumanku sehingga aku tanpa ragu lagi melumat bibirnya dan Naning membalasnya dengan penuh gairah. Tanganku mulai meraba bukit di dadanya, membelai dengan lembut lalu meremasnya, Naning tidak menolak bahkan menekankan tubuhnya untuk membuat tanganku semakin binal meremat dadanya. Naning mendesah saat lidahku mulai bergerak ke lehernya dan dia manda saja saat tubuhnya kubaringkan di dipan kayu warung itu ..... kami bergumul tanpa melepas baju tetapi Naning sudah berani meremas batangku yang masih terbungkus celana jeans dan cd.
Cumbuan kami terhenti ketika ada mobil truk yang melintas lalu kami kembali duduk manis menatap hujan yang turun membasahi semua yang ada.
Iseng kutanya apakah hari Senin besok Naning kebagian shift pagi atau siang dan dia bilang siang sehingga aku menawarkan bagaimana kalau hujan ini ditembus dan kita berteduh di salah satu penginapan di daerah Lembang, Naning bilang terserah aku.
Akhirnya kami menembus hujan yang masih lebat dan ketika lewat Cikole aku melihat penginapan kelas melati, maka kesanalah motor ku arahkan.
Setelah membayar sewa kamar, kamipun memasuki salah satu kamar.
Karena baju kami basah, maka kami buka semua. Aku hanya menyisakan cd sedang Naning hanya memakai cd dan bh hitamnya.
Aku bungkus bagian pahaku dengan handuk sedangkan Nining membungkus tubuhnya dengan sprei. Pakaian basah kami gantung-gantungkan di kursi, di meja lalu kami pun duduk di tempat tidur sambil minum minuman hangat yang disediakan pihak penginapan.
Letupan birahi yang sempat terputus tadi ketika di warung sepi kembali bermunculan, ditunjang dengan tempat yang nyaman tertutup membawa kami kembali dalam pergumulan dan tentu saja pergumulan kali ini lebih panas dari yang tadi. Perlahan namun pasti, penutup tubuh sehelai demi sehelai terlepas dengan sendirinya, tubuh kami akhirnya sampai pada ketelanjangan.
Naning menggelinjang, merintih dan mendesah setiap kali tanganku meremat tubuhnya, setiap kali lidahku menari di telinga, leher, dada, perutnya bahkan ketika lidahku membelai belahan lubang senggamanya, Naning bagai kesurupan, pahanya kadang menjepit kepalaku kadang meregang melebar, tangannya menarik rambutku tapi juga menekan agar aku lebih dalam lagi menjilatinya, hingga akhirnya, diawali dengan jeritan lirih dari mulutnya, Naning menjepit kepalaku yang berada di selangkangannya, kulit kepalaku sampai perih karena tangannya meremat rambutku sangat kecang. Orgasme pertamanya telah mengantarkan Naning menggampai puncak birahi kami lalu setelah tubuhnya terkapar kelelahan, perlahan aku beringsut menindih tubuhnya. Ku kecup bibirnya sambil ku tempelkan kepala batangku ke gerbang gua senggamanya lalu perlahan kulumat bibirnya, bersamaan dengan itu kudorong perlahan batangku menembus gua senggamanya yang sudah licin oleh liurku dan cairan kenikmatannya. Setelah kepala batangku masuk, tanganku beralih meremas dadanya dan ku sedot bibirnya ... kubenamkan perlahan batangku masuk, masuk, masuk dan akhirnya masuklah semua memenuhi rongga kemaluannya yang masih sempit. Mata Naning terbeliak saat selaput daranya berhasil kujebol, tangannya mencakar punggungku dan ketika matanya terpejam lagi, ku lihat ada air mata yang menganak sungai ke pipinya ....... setelah beberapa saat kudiamkan batangku dalam jepitan rongga kemaluannya, mulailah aku menarik perlahan lalu ku benamkan lagi. Kuulang ulang gerakan itu dalam tempo yang lambat untuk membuat Naning terbiasa dahulu. Naning belum bereaksi atas gerakan pinggulku hanya rintihnya saja terdengar perlahan.
Dengan sabar kuayun dengan lembut batangku keluar masuk di lubang senggamanya dan ternyata lama-kelamaan Naning menanggapi.
Dia peluk tubuhku yang bersimbah peluh kemudian dia kulum bibirku dan pinggulnya mulai bergoyang. Tempo gerakan mulai ku percepat dan desahan Naningpun semakin riuh ku dengar di telingaku, kukulum bibirnya, lidah kami saling berkait, kadang kuhisap lehernya serta puncak dadanya. Tanganku kadang meremat dadanya, bergerak ke pinggang, paha, bolak balik seiring dengan birahiku yang dalam masa pendakian.
Naning sudah tidak terkontrol lagi, tubuhnya menggeliat setiap kali aku menekan dalam-dalam batangku, rintihannya kadang menyebut namaku, atau hanya ah ... auuhh .... aduh ... dan banyak lagi.
Saat aku mulai merasakan akan sampai pada pendakianku, ku percepat ayunan pinggulku dan setiap kali aku menekan, Naning selalu mengangkat pinggulnya menyambut hujamanku sehingga akhirnya kami berdua meraih puncak kenikmatan persetubuhan kami. Kuhujamkan sedalam-dalamnya batang kemaluanku lalu kumuntahkan lahar birahi dan tubuh Naningpun meregang karena diapun mendapatkan orgasmenya beberapa detik setelah aku melepas kenikmatan ......
Setelah ketegangan tubuh kami berlalu, perlahan ku lepas hujaman batangku dan kugulirkan tubuhku dari tubuhnya.
Kami bertatapan dan kembali kulihat Naning menitikan air mata. Segera ku peluk dia, kuusap rambut dn punggung telanjangnya lalu kukecup bibirnya sambil kuucapkan rasa sayangku padanya. Kutanyakan apakah dia menyesal dengan apa yang telah terjadi, Naning hanya menggelengkan kepala.
Hening dalam kamar kurasakan, tubuh kami berdua terkapar dalam ketelanjangan. Kami berpelukan hingga akhirnya kantuk menyerang sehingga tertidurlah kami.
Entah berapa lama kami tertidur tetapi ketika aku merasa dingin, aku terjaga ... Naning tengah duduk bersandar di kepala tempat tidur, tubuhnya terbungkus sprei dan dia tengah menghisap rokok.
Naning tersenyum padaku lalu dia padamkan rokoknya lalu kembali berbaring di sisiku. Aku bangun untuk ke kamar mandi untuk kencing sekaligus mencuci batangku yang masih lengket dengan cairan Naning dan cairan maniku. Setelah bersih, aku balik lagi ke tempat tidur, masuk ke dalam selimut.
Kami ngobrol sambil berpelukan .... tanganku membelai rambutnya sementara tangannya membelai dadaku .... dan akhirnya birahi kami terbangkit lagi. Kubisikkan ajakkanku untuk mengulangi yang tadi,
Dia hanya tersenyum dan mencubit pinggangku. Akupun melumat bibirnya dan terus bergerak ke bawah menyusuri leher hingga tiba ke puncak bukit dadanya. Aku kecup kedua ujung bukitnya dengan lembut dan perlahan, sesekali aku memainkan lidahku memutari bukit kembarnya. Nampak ujung putingnya sudah mulai mengeras dan
setelah puas dengan bukit kembarnya aku kembali melanjutkan perjalanan lidahku kebagian perut dan pusarnya, Naning menggelinjang kegelian saat kujilati pusarnya. Tak lama aku bermain di bagian tersebut, akupun turun dan langsung menuju lubang senggamanya yang sedikit menggunung.. Aku kuak lipatan lubang senggamannya untuk menjangkau bagian klitoris yang sudah mulai mengeras.
Naning semakin keras desahnya.
Tak menghiraukan desahannya dan tetap kulanjutkan menjilati gerbang gua kenikmatannya. Naning semakin keras merintih dan mendesah, dan kakinya mengangkang semakin lebar sehingga aku leluasa menjamah setiap jengkal bagian gua kenikmatannya, aku tahu dia sudah ingin ku setubuhi maka aku hentikan jilatanku dan. Kucium bibirnya dengan lembut dan menatap matanya.
Terlihat olehku dia sudah pasrah dan lalu kupegang batangku yang sudah menegang, kugesek-gesekan di mulut lubang senggamanya hingga menyentuh klitorisnya .
Setelah kurasakan cukup memainkan batangku akhirnya dengan sedikit dorongan ujung batangku mulai menembus memasuki lorong gua nikmatnya. Kurasakan kehangatan lubang senggamanya, alangkah nikmatnya lubang senggama Naning ini pikirku. Aku pun mulai mendorongnya perlahan dan menikmati setiap gesekan batangku dengan dinding lubang senggama Naning. Lalu kuhentakan lembut pinggulku hingga seluruh batang penisku tertelan oleh lubang senggama Naning. Naningpun sedikit terpekik saat ujung penisku menyentuh dasar lubang senggamanya. Aku diamkan sebentar dan perlahan aku pun mulai mengerakan penisku maju mundur secara perlahan.
Mata Naning terbeliak sat batangku menembus lubangnya, bahkan nyaris tidak terlihat bagian hitamnya, mulutnya terbuka tanpa suara .....
Akupun mulai menggerakan pinggulku dengan ritme yang lambat mengarah kecepat sambil ku remas dadanya, kulumat bibirnya, ku jilat lehernya. Tangan Naningpun bergerak tidak teratur. Kadang menggerumas rambutku, mencengkram punggunggku yang berkeringat atau meremas pantatku yang tengah naik turun menggenjotnya.
Gerakan kami semakin tak terkendali, ayunan pinggulku semakin cepat dan goyang pinggulnyapun semakin liar. Aku tahu dia sudah hampir mencapai orgasmenya.
Akhirnya tak lama kemudian tubuh Naning mengejang, kaku dan terasa batangku dijepit oleh daging basahnya.
Kupercepat ayunan pinggulku, ku sodok dengan keras lubang senggamanya yang sudah banjir dan akhirnya aku muntahkan air maniku di dalam lubang senggama yang nikmat ini. Tubuhku dan Naningpun mengejang dan kaku hingga akhirnya kami berdua lemas dan tidur berpelukan dalam kenikmatan malam itu.
Sejak kejadian itu, kami bisa mengulang dan mengulang terus persetubuhan seperti ketika dulu aku bersama Nining, apalagi sekarang tanpa adanya Nining, semakin bebaslah kami melakukannya.
Setelah lama kami berhubungan, aku berhasil membujuk Naning hingga akhirnya kami sepakat hendak main ke kampungnya Naning di Majalaya dan setelah libur di pabrik kamipun berangkat ke Majalaya. Ternyata memang tempat tinggal Naning bukan di Majalayanya tetapi masih masuk menuju ke salah satu kampung yang cukup jauh dari jalan utama.
Kami tiba di depan rumah Naning jam 10.00. Sebuah rumah panggung yang resik, di kelilingi oleh kebun sayur. Nampak seorang perempuan setengah baya tengah menapi beras. Kami menghampiri perempuan itu, Naning langsung memeluknya dan mencium tangannya. Naning perkenalkan aku kemudian aku segera mencium tangan perempuan ini yang ternyata Ibunya Naning.
Sekilas aku melihat seraut wajah di balik jendela ...... Nining tetapi kemudian segera menghilang dari jendela. Aku ingin mengejarnya tetapi aku tahan keinginan itu, sungguh tidak sopan bila itu aku lakukan.
Aku diajak masuk rumah lewat pintu samping dan sebelum masuk, seperti rumah di kampung umumnya selalu membuka alas kaki.
Ketika aku sudah berada di dalam, aku celingukan mencari keberadaan Nining, sementara Naning meninggalkan aku masuk kamar dan tak lama kemudian aku mendengar ada deheman di dekatku dan ketika ku tengok, seorang lelaki dengan menggunakan pakaian pangsi ( sejenis pakaian "dinas" ke kebun/sawah ) lengkap dengan iket ( ikat kepalanya ) berdiri menatapku. Aku sudah yakin, inilah Abahnya Nining dan Naning, maka segera aku menghampirinya, menyalami dan mencium tangannya sebagai tanda takzimku.
Aku dipersilahkan duduk dan dia duduk di hadapanku, menjumput sebatang rokok kretek, menyulutnya dan menghisapnya dengan nikmat.
( percakapan sebenarnya menggunakan bahasa Sunda, tetapi supaya tidak membingungkan pembaca, aku tulis saja dengan bahasa Indonesia )
" Dari mana asalmu, Nak ? "
" Saya asli orang Bandung, Pak. Kalau ayah saya dari Lembang sedang Ibu saya asli orang Ciwantani "
" Ciwantani Cisarua ? "
" Iya Pak, meskipun sebenarnya itu masuk ke Kecamatan Ngamprah ".
" Hhmmm ...... "
Sambil menghisap rokoknya, sesekali dia menatapku dengan tajam .... seperti menaksir diriku.
" Kalau Abah sendiri aslinya dari Majalaya ? " aku balik bertanya untuk menghilangkan kekakuan.
" Abah asli orang Ibun dan Ibu dari Ciparay "
" Abah hanya punya anak Naning sama Nining ? "
" Sebenarnya ada 3, adiknya Nining, laki-laki tetapi dia meninggal 3 tahun yang lalu karena demam berdarah "
" Oh, maaf Pak ..... "
" Tidak apa. Oya, apa pekerjaan orang tuamu ? "
" Ayah saya bekerja di percetakan sebagai Supir sedangkan ibu saya ya usaha kecil-kecilan membuka warung nasi. Lumayan Pak, untuk nambah-nambah biaya sekolah adik-adik saya ".
Lelaki tua ini kembali menatapku, seperti menyelidik dan aku pun agak tergetar melihat ketajaman pandangannya.
" Nak Agus, berapa usiamu sekarang ? " keheningan ruang dipecahkan oleh pertanyaannya.
" Sekarang 28 tahun, Pak ", jawabku.
" Siapa nama ayahmu, Nak ?"
" Nama ayah saya Sugandi sedangkan Ibu saya Halimah ", jawabku.
Kulihat ada kekagetan di wajah tua itu dan kembali lelaki tua ini terdiam ..... pikirannya kembali menuju ke suatu waktu .....
27 tahun yang lalu
Siang yang panas, membawa langkahku memasuki sebuah warung nasi yang tidak terlalu ramai pengunjung, ku lihat arloji .... ternyata sudah lewat jam makan siang, pantas aku lapar .... dan ketika masuk ke warung aku disambut seraut wajah manis, perempuan berkebaya berusia 21 tahun. Halimah, primadona warung nasi Abah Abin Kedot, yang membuka usaha warung . Tahun itu, warung nasi belum seperti sekarang yang menjamur dimana-mana dan makanan yang disajikannyapun sangat fresh, bukan masakan kemarin yang dipanaskan kembali untuk disajikan hari ini.
Kuhenyakan tubuhku di bangku lalu
" Gimana usahanya hari ini, Kang ? " suara merdu terdengar di sebelahku dan saat ku toleh, ternyata Halimah yang ada, membawa nampan berisi gelas dan mangkuk kobokan. Dengan gerakan yang tenang dia simpan gelas serta mangkuk kobokan, lalu lanjut bicara " mau makan apa Akang ? "
" Seperti biasa saja, Mah ... " dan aku tidak bisa berbicara lagi demi melihat pinggulnya yang bergoyang lembut saat meninggalkan aku.
Aku sungguh tertarik pada perempuan ini, betapa aku ingin memilikinya tetapi keterbatasanku sebagai penjual keliling, kadang membuatku merasa rendah diri untuk mengemukakan pikiranku, keinginanku. Abah Abin adalah jawara di kampung Cihideung, tidak ada yang tak kenal dia. Pria paruh baya yang membawahi beberapa jawara muda di daerah-daerah, disegani oleh para Lurah, Wedana karena kepawiannya dalam bela diri silat dan dalam mengatur "operasi" anak buahnya.
Ternyata rasa sukaku pada Halimah tidak bertepuk sebelah tangan, Halimahpun menyukai aku sehingga dalam setiap pertemuan kami selalu menyempatkan ngobrol berlama-lama, bila sempat aku bisa meremas jemari tangannya .... cuma itu dan begitu yang terjadi karena pada jaman itu tidak seperti sekarang.
Halimah pernah mengemukakan keinginannya untuk dinikahi aku tetapi kujawab bahwa penghasilanku belum dapat menjamin kehidupan berumah tangga ditambah lagi aku masih belum berani untuk berbicara langsung pada ayahnya, melihatnya saja aku sudah merasa "seber" ( takut ).
Hubunganku dengan Halimah hanya sebatas bertemu saat makan, ngobrol sejenak kadang di belakang warung, saling meremas tangan dan saling tatap. Sempat beberapa kali aku curi-curi mencium pipi dan bibirnya tetapi tidak bisa berlama-lama karena takut ketahuan.
Hingga pada suatu ketika, aku datang untuk makan ke warungnya ternyata warung tutup dan kata orang sekitar hari itu sedang ada hajatan di desa sebelah. Ketika aku hendak berlalu, tiba-tiba ada suara lembut memanggilku dan Halimah berdiri di pintu sambil menatapku.
Kuhampiri dia dan dia mengajakku masuk ke warungnya yang sepi. Kami duduk berhadapan lalu Halimah bilang bahwa ada saudaranya yang melangsungkan pernikahan, Abah ( ayah) nya ditunjuk sebagai Wali dari pengantin perempuan yang sudah yatim piatu.
" Kenapa kamu tidak kesana, Mah ? " tanyaku.
" Aku akan kesana setelah ...... " kata-kata Halimah terputus.
" Setelah apa ? " kejarku sambl beringsut mendekatinya, Halimah menunduk.
" Setelah aku ketemu dengan Akang dulu .... " jawabnya sambil menundukkan kepala.
Aku tersanjung dengan jawabannya dan sebagai lelaki yang sudah berusia layak kawin tentu saja jawaban Halimah ini merupakan sebuah pernyataan akan kerinduannya padaku, akan rasa sukanya padaku.
Ku pegang bahunya, perlahan kuangkat dagunya ... saat wajahnya tepat di depan wajahku, matanya sudah terpejam ... dia gigit bibir bawahnya .... dan akupun mendekatkan bibirku ke bibirnya. Kami berciuman meski tubuhnya kaku, seperti kaget tetapi tetap kukulum bibirnya.
Halimah merasa gelisah ketika jemariku menyelusup ke stagen hingga terlepas simpulnya. Tubuhnya makin kaku ketika tanganku memaksa masuk untuk meraba perutnya. Ku rebahkan tubuhnya di dipan kayu. Ku susuri kulit dadanya yang halus dengan bibirku sambil tanganku melepas satu demi satu penutup tubuhnya dan penutup tubuhku.
Siang itu, di atas dipan warung nasi tempatku biasa makan ... aku bisa meniduri perawan bernama Halimah. Tubuh yang masih suci kini telah telanjang berpayung tubuhku yang juga sudah telanjang, diiringi isak tangisnya ku gagahi tubuh mulusnya. Halimah memang tidak menolak tetapi aku yakin dia kaget atas "serangan kilatku".
Saat kemaluanku memasuki lubang kemaluannya, Halimah hanya mencakar punggungku dan air matanya terus mengalir. Aku tidak perduli, ku hujamkan terus batang kemaluanku, menarik keluar lalu kuhujam lagi ... terus .... terus dan terus sehingga akhirnya tubuh kami mengejang bersama lalu setelah ketegangan itu lewat ku lepas batang kemaluanku yang sudah berlendir dengan disertai bercak darah keperawanan Halimah. Ketika semuanya berakhir, Halimah masih dalam keadaan terisak memunguti pakaiannya lalu berjalan tertatih menuju kamar disebelah ... sementara aku masih terbaring lemas setelah melepas puncak birahiku dan ketika ku dengar langkah Halimah mendekati, dengan malas-malasan aku kenakan kembali bajuku.
" Kang ... kenapa Akang setega itu sama Limah ? ", tanyanya.
" Akang sayang sama kamu .. Akang rindu sama kamu, Mah " jawabku.
" Tapi kenapa sampai sejauh itu ? " tanyanya lagi.
" Akang tidak tahu, Mah ... tapi Akang akan tanggungjawab " jawabku.
" Akang harus ngomong sama Abah ... apapun yang terjadi Akang harus bicara meminta Limah jadi isteri Akang ", jawabnya seraya memegang tanganku dengan erat.
Ku tatap wajahnya lalu ku kecup keningnya sambil berkata " Akan Akan lakukan ...... "
Setelah aku minum, kami meninggalkan warung .... kuantar Halimah sampai ke mulut Desa Cihanjuang dimana disana hajat tengah berlangsung lalu aku berlalu sambil menenteng daganganku. Tatapan mata Halimah melepas kepergianku. Aku tidak tahu akan rasa hatiku, apakah senang sudah meniduri seorang perawan atau bingung .... aku hanya bisa berjalan tanpa menengok ke belakang.
Itulah pertemuan terakhir dengan Halimah ... aku terlalu pengecut untuk mendatangi orang tuanya untuk membuktikan kelelakianku. Rasa takut, sesal berkecamuk dalam jiwaku sehinga akhirnya aku memilih pergi menjauh ke Cirebon.
Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan Halimah, setelah 3 tahun aku mengembara, aku kembali ke Majalaya dan tidak lama kemudian aku menikahi Sukaesih, anak Hj. Sukron ... dan dari Sukaesih aku dapatkan 3 anak. Naning, Nining dan Sumarna tetapi Sumarna tidak berusia panjang.
Dengar kabar dari orang-orang yang tahu keadaan Halimah, ternyata Halimah hamil oleh perbuatanku lalu oleh ayahnya dia dikawinkan dengan Sugandi salah seorang anak buahnya untuk menutupi aib dan ketika bayinya lahir kemudian Sugandi diberi pekerjaan sebagai sopir perusahaan percetakan .....
" Abah .... " suara Naning memecah keheningan ruang tamu.
" Eh ... Ning, aya naon ?" jawab ayahnya.
" Itu .. kata Ambu, makan dulu sama-sama Kang Agus ..... "
" Ooohh iya ... iyaaa .... sok atuh Gus, makan dulu .... " kata ayahnya Naning mempersilahkan aku untuk mengikuti Naning ke ruang tengah ....
" Abah tidak makan ? ", tanya Naning
" Nantilah, sebentar lagi, Abah mau lihat dulu air di pancuran .... " jawabnya sambil berlalu tetapi sempat kulihat kilatan matanya menatapku. Darahku berdesir melihat tatapan sekilasnya tetapi kemudian tanganku ditarik oleh Naning.
Kami makan bertiga, aku, Naning dan Ibunya sedangkan Nining tidak nampak batang hidungnya ... aku masih menahan diri untuk tidak bertanya karena aku dilanda kebingungan ... antara Naning yang sudah ku tiduri, Nining yang juga sudah ku perawani ... lalu pertemuan singkat tadi antara aku dan ayahnya.
Acara makan siangku bersama Ibu dan Naning berlangsung dalam diam dan sungguh aku tidak bisa menikmatinya sehingga setelah habis sepiring, aku mencuci tanganku kemudian pamit untuk keluar.
Saat aku tengah menikmati rokokku, tiba-tiba ayah Naning muncul .... wajahnya murung luar biasa tetapi dia mendekatiku lalu duduk di sebelahku.
" Gus .., sebaiknya sekarang kamu pulanglah. Tidak usah lagi kamu mendekati anak-anak Abah", katanya dengan suara bergetar.
" Memang kenapa, Pak ? " jawabku.
" Tidak usah tanya kenapa ... Abah cuma meminta kamu sekarang pergi dari rumah Abah dan melupakan anak-anak Abah Nining dan Naning ... termasuk kamu lupakan saja pertemuan hari ini " katanya tegas. " Pergilah .... "
Aku sudah tidak diberikan kesempatan untuk berbicara lagi, dengan sedikit memaksa aku disuruh pergi dan aku terpaksa berlalu setelah kuambil daypackku.
Seminggu, dua minggu aku bekerja tidak kutemukan Naning maupun Nining ... aku bingung, kenapa mereka tidak muncul lagi.
Tiga bulan kemudian aku menerima titipan surat dari ayahnya Naning lewat Uho, salah seorang temanku di bagian mekanik yang tinggal di Majalaya sekampung dengan Nining dan Naning.
Dengan tergesa aku pergi ke ruang istirahat operator lalu kubuka surat itu ....
" Agus, Abah ingatkan kamu untuk jangan menghubungi kedua anak Abah. Lupakan mereka dan hiduplah seperti biasa lagi seperti sebelum kamu mengenal kedua anak Abah. Perbuatanmu terhadap anak-anak Abah tidak akan Abah tuntut karena mungkin itu adalah karma atas perbuatan di masa lalu dimana dulu Halimah ibumu Abah tiduri sehingga lahirlah kamu ...
Saat kamu baca ini, kami sekeluarga sudah pindah ke tempat yang baru agar kamu tidak akan pernah bisa menemui kami lagi ..... Jaga dirimu baik-baik, Anakku "
Surat itu terlepas dari tanganku, pandanganku gelap ... tubuhku oleng dan jelang kesadaranku hilang, sempat aku mendengar teriakan Uho ..... " Gus ... Gus .... kunaon ..... ??!!"
Thursday, July 23, 2015