Bagian satu
Sersan Wardi dan Deni menyangka jebakan mereka ampuh, tapi mereka tidak sadar bahwa Joe telah melangkah lebih jauh, bahkan sebenarnya permainan ada di tangan Joe. Sementara itu, misteri suara-suara menakutkan mulai terungkap. Tampaknya Nungki harus berjuang sendiri untuk menyelamatkan jiwanya. Bagian Satu Deni memandang gelisah ke arah jalanan yang masih penuh sesak dalam kemacetan regular sore hari. Benaknya terasa begitu kacau saat itu. Bagaimana kalau bapak itu mencegatnya di pinggir jalan dan begitu saja menggorok kepalanya? Bagaimana kalau ternyata orang yang digambarkannya bukan pelaku aslinya? Bagaimana kalau ia tak pernah lagi menatap indahnya mentari? Sekitar seperempat jam Deni berkutat dengan pemikirannya sebelum Sersan Wardi mengejutkannya dari belakang. "Hey. Jangan melamun." Deni membalikkan tubuhnya dan menerima sekaleng Coca Cola yang disuguhkan kepadanya. "Thanks." Sersan Wardi tersenyum dan menenggak minumannya sendiri. "Pak," bisik Deni lirih seolah tak ingin orang-orang lain di kios itu mendengar pembicaraan mereka, "kok saya jadi takut, ya?" Sersan Wardi terkekeh dan menepuk pundak pemuda di sebelahnya. "Sudahlah. Jangan khawatir. Dengan saya kamu akan aman-aman saja." Sersan Wardi menyingkap rompi hijau tuanya dan Deni merasa bulu kuduknya meremang melihat benda hitam berkilat yang terselip di pinggang si Sersan. "Ya, kalau Bapak merasa begitu," ucapnya sambil lalu dan meneguk minumannya. Sersan Wardi tersenyum dan mengalihkan pandangannya ke arah jalan raya. "Mungkin suatu hal yang susah untuk menemukan pelaku di antara sekian banyak manusia yang berkeliaran di kota ini." Deni mengangguk mendengarkan pernyataan itu. Dalam hati Deni membenarkan ucapan itu. Lagipula belum tentu pelaku itu tahu di mana ia berada sekarang. Mendadak Deni merasa seseorang menghembus daun kupingnya. Pemuda itu menoleh ke belakang dan melihat tidak ada siapapun di sana. Hanya pemilik kios dan seorang bapak gemuk berpakaian safari yang masih memilih-milih minuman dalam kotak pendingin. Deni memandang ke sekelilinnya dan mengira-ngira, apakah hembusan itu hanya perasaannya sendiri. "Ada apa, Dik?" Sersan Wardi memandang ke arahnya dengan tatapan penuh tanya. Deni menggelengkan kepalanya, "Entahlah, Pak. Tadi saya seakan merasakan sesuatu." Sersan Wardi tertawa dan merangkul Deni seraya berkata, "Itu hanya karena kamu merasa tegang." Beberapa saat kemudian raut wajah Sersan Wardi berubah tegang, "Apa ini?" Deni merasakan sesuatu direnggut dari punggungnya. Cepat pemuda itu membalikkan tubuh menghadap Sersan Wardi yang sudah memegang sehelai kertas tipis di tangannya. Wajah Sersan itu terlihat tegang saat membaca surat itu, kemudian matanya memandang ke sekeliling, tangannya perlahan merogoh ke balik rompi hijau tuanya. Deni mengambil kertas di tangan si Sersan dan merasakan keringat dingin mengalir di tengkuknya saat membaca isi surat itu. Huruf-huruf di kertas itu disusun dengan menggunting huruf dari berbagai judul berita surat kabar. Walaupun berbeda satu huruf dengan lainnya, namun huruf-huruf itu tersusun rapi.
"I SEE YOU, I TOUCH YOU"
Bapak tadi! Deni memutar tubuhnya dan mencari-cari, tapi bapak berpakaian safari tadi sudah menghilang.
bersambung ...
Friday, January 2, 2015