Sore Jum'at itu sehabis jam kantor aku tidak langsung pulang ke apartemenku. Aku mampir dulu ke sebuah mall di kawasan Senayan. Capek berputar-putar, aku mampir ke satu gerai kopi. Sambil menikmati kopi dan memainkan gadget, kubuka forum-forum di internet. Tak ketinggalan kubuka situs favoritku S*MPR*T.COM. Terus terang dari S*MPR*T aku banyak terbantu apalagi kalau butuh teman tidur ketika sedang bertugas di daerah.
Kubolak-balik lapak yang ada di sub UG siapa tahu ada TO yang menarik dan bisa di-BO, tapi yang dipromosikan kebanyakan cewek ABG di selatan Jakarta. Aku juga sangat menikmati thread IGO yang menampilkan wanita dewasa atau ibu rumah tangga. Aku sebenarnya juga bukan penikmat "lapangan tembak" macam Blok C di Pasar Baru atau Blok T di Mangga Besar, bahkan hotel A yang sangat legendaris dalam kancah perlendiran pun hanya kulewati saat dalam perjalanan ke Bandara. Aku sering diejek kawan-kawan karena kalau karaoke aku paling susah mencari PL yang pas. Tapi soal selera memang tidak bisa dipaksakan.
Sesekali kusapukan pandangan ke area mall. Banyak orang yang masih berpakaian kantor lalu-lalang, termasuk para wanita matang usia 40-an yang menjinjing tas bermerek. Tapi yang membuatku tersentak adalah ketika dikejauhan terlihat seorang perempuan berumur mendekati 50-an memakai baju gamis dengan kerudung yang lebar sedang berjalan menggandeng anak umur 3 tahunan. Dibelakangnya berjalan pasangan muda, yang pria menggendong anak berumur sekitar 1 tahun. Tidak begitu lama rombongan tadi sudah menghilang ditelan lalu lalang pengunjung mall. Walau hanya sekilas, pemandangan tadi mampu mengaduk memoriku. MUNGKINKAH ITU DIA...? Diantara 8 juta penduduk Jakarta?
Dengan langkah gontai aku masuk kesebuah warung makan. Siang itu aku baru selesai UTS di kampus.
"Mbak, makan pakai ikan", kataku ke Mbak Asih penjaga warung. "Umi dimana Mbak?"
"Lagi istirahat didalam", kata Mbak Asih menyodorkan piring nasi. Aku yang sudah kelaparan langsung melahap habis.
Aku sekarang mahasiswa semester 6 fakultas ekonomi disatu universitas di ibukota provinsi yang berjarak sekitar 10 jam perjalanan dari kampungku. Semester depan aku tinggal KKN lalu menyelesaikan skripsi. Aku menargetkan bisa wisuda dalam waktu kurang 4 tahun dan secepatnya bisa bekerja. Aku baru pindah kos ke lingkungan perumahan ini sekitar 6 bulan yang lalu. Aku jadi pelanggan tetap warung makan tadi karena selain hanya berselang tiga rumah dari kosku, juga karena aku bisa ngutang dulu. Kalau kiriman uang dari Bapak dari luar negeri sudah kuterima, utangku pasti langsung kubayar. Tapi, sudah dua hari ini warung makan langgananku itu tutup. Aku terpaksa makan di warung yang lumayan jauh.
Aku berpapasan dengan wanita setengah baya yang hendak masuk ke pagar rumahnya.
"Darimana Mi?", sapaku,"kok warungnya tutup?"
"Ehh...Maman. Baru pulang kuliah? Ini Umi dari apotik beli obat buat si Abi, ada resep dokter yang harus ditebus", jawabnya.
Wanita yang kupanggil umi itu pemilik warung makan, namanya Fifi. Umurnya 43 tahun. Sehari-hari dia selalu mengenakan gamis longgar dan kerudung panjang. Suaminya bernama Subrata, biasa dipanggil Om Brata, umurnya 55 tahun. Dulu mereka bertemu waktu acara kesenian. Umi Fifi anggota sanggar tari jaipong yang mengisi acara, Om Brata panitanya. Paras ayu Umi Fifi telah memikat hati Om Brata sejak pandangan pertama. Setelah menikah mereka dikaruniai dua orang anak. Anak yang sulung perempuan sudah bekerja di Jakarta, yang bungsu laki-laki masih kuliah di Bandung. Umi Fifi masih melatih tari jaipong di sanggar yang memang sudah menjadi hobinya, hingga akhirnya berhenti setelah Om Brata mengidap asma dan diabetes 5 tahun yang lalu. Om Brata dulunya memang perokok berat dan juga pecandu kopi. Umi lalu membuka warung makan kecil-kecilan di garasi untuk menambah uang pensiun suaminya. Mbak Asih yang tinggal tidak jauh dari situ, mereka gaji untuk membantu di warung. Aku tahu informasi ini karena sering ngobrol bersama pasangan ini sambil makan di warung. Hubungan kami sangat akrab, bahkan mereka sering menasehatiku supaya tetap semangat belajar dan tak perlu minder walaupun orangtuaku hanya pekerja kasar di luar negeri.
Sekitar jam 4 sore aku datang menengok Om Brata. Umi Fifi membukakan pintu, penampilannya berbeda. Sebenarnya pakaiannya masih tergolong sopan untuk didalam rumah. Dia memakai daster sebetis berlengan pendek dengan ukuran pas di badan. Tali dasternya diikat melingkar pinggang. Rambutnya memakai penutup hanya sebatas leher, sehingga dadanya terlihat menonjol. Tetap saja membuat aku tertegun, karena selama ini yang kulihat cuma wajah dan sebatas pergelangan tangannya saja. Umi Fifi lalu mengajakku ke ruang keluarga. Dari belakang lekuk tubuhnya tergambar jelas, bokongnya yang sintal tampak bergoyang-goyang.
Aku menelan ludah, penyakit Oedipus Complex-ku mulai kumat. Ingin rasanya kuremas pantat Umi Fifi kalau saja akal sehatku tak mencegahku. Kutarik nafas dalam-dalam untuk mengusir pikiran mesumku. Di ruang keluarga, Om Brata sedang bersandar di sofa sedang nonton TV. Wajahnya terlihat pucat. Aku menyalami tangan Om Brata. Umi Fifi masuk ke arah dapur, lalu keluar dengan membawa secangkir teh. Setelah mempersilakan aku minum, dia lalu duduk disamping Om Brata. Hanya sebentar kami ngobrol, kemudian aku pamit pulang ke kosku.
Sunday, May 3, 2015